Rabu, 05 Maret 2008

Soekarno VS Soeharto
Soekarno - Sejarah yang tak memihak
- WS Rendra

"Malam minggu. Hawa panas dan angin seolah diam tak berhembus. Malam ini saya bermalam di rumah ibu saya. Selain rindu masakan sambel goreng ati yang dijanjikan, saya juga ingin ia bercerita mengenai Presiden Soekarno. Ketika semua mata saat ini sibuk tertuju, seolah menunggu saat saat berpulangnya Soeharto, saya justru lebih tertarik mendengar penuturan saat berpulang Sang proklamator. Karena orang tua saya adalah salah satu orang yang pertama-tama bisa melihat secara langsung jenazah Soekarno."

Saat itu medio Juni 1970. Ibu yang baru pulang berbelanja, mendapatkan Bapak (almarhum) sedang menangis sesenggukan.
” Pak Karno seda ” ( meninggal ) ujarnya.
Dengan menumpang kendaraan militer mereka bisa sampai di Wisma Yaso.
Suasana sungguh sepi. Tidak ada penjagaan dari kesatuan lain kecuali 3 truk berisi prajurit Marinir ( dulu KKO ). Saat itu memang Angkatan Laut, khususnya KKO sangat loyal terhadap Bung Karno. Jenderal KKO Hartono - Panglima KKO - pernah berkata ,
” Hitam kata Bung Karno, hitam kata KKO. Merah kata Bung Karno, merah kata KKO “

Banyak prediksi memperkirakan seandainya saja Bung Karno menolak untuk turun, dia dengan mudah akan melibas Mahasiswa dan Pasukan Jendral Soeharto, karena dia masih didukung oleh KKO, Angkatan Udara, beberapa divisi Angkatan Darat seperti Brawijaya dan terutama Siliwangi dengan panglimanya May.Jend Ibrahim Ajie.

Namun Bung Karno terlalu cinta terhadap negara ini. Sedikitpun ia
tidak mau memilih opsi pertumpahan darah sebuah
bangsa yang telah dipersatukan dengan susah payah.

Ia memilih sukarela
turun, dan membiarkan dirinya menjadi tumbal sejarah.
“The winner takes it all.” Begitulah sang pemenang tak akan sedikitpun
menyisakan ruang bagi yang kalah. Soekarno harus meninggalkan istana
pindah ke istana Bogor . Tak berapa lama datang surat dari Kodam
Jaya - Mayjend Amir Mahmud -
disampaikan jam 8 pagi yang meminta bahwa Istana Bogor harus sudah
dikosongkan jam 11 siang.

Buru buru Bu Hartini, istri Bung Karno mengumpulkan pakaian dan barang
barang yang dibutuhkan serta membungkusnya dengan
kain sprei. Barang barang lain semuanya ditinggalkan.
” Het is niet meer mijn huis ” - sudahlah, ini bukan rumah saya lagi ,
demikian Bung Karno menenangkan istrinya.

Sejarah kemudian mencatat, Soekarno pindah ke Istana Batu Tulis
sebelum akhirnya dimasukan kedalam karantina di Wisma Yaso.

Beberapa panglima dan loyalis dipenjara. Jendral Ibrahim Adjie diasingkan menjadi dubes di London .
Jendral KKO Hartono secara misterius mati terbunuh di rumahnya.

Kembali ke kesaksian yang diceritakan ibu saya. Saat itu belum banyak yang datang, termasuk keluarga Bung Karno sendiri. Tak tahu apa mereka masih di RSPAD sebelumnya.

Jenasah dibawa ke Wisma Yaso. Di ruangan kamar yang suram, terbaring
sang proklamator yang separuh hidupnya
dihabiskan di penjara dan pembuangan kolonial Belanda. Terbujur dan
mengenaskan. Hanya ada Bung Hatta! dan Ali Sadikin -
Gubernur Jakarta - yang juga berasal dari KKO Marinir. Bung Karno
meninggal masih mengenakan sarung lurik warna
merah serta baju hem coklat. Wajahnya bengkak bengkak dan rambutnya sudah botak.
Kita tidak membayangkan kamar yang bersih, dingin berAC dan penuh
dengan alat alat medis disebelah tempat tidurnya.
Yang ada hanya termos dengan gelas kotor, serta sesisir buah pisang
yang sudah hitam dipenuhi jentik jentik seperti
nyamuk. Kamar itu agak luas, dan jendelanya blong tidak ada gordennya.
Dari dalam bisa terlihat halaman belakang yang
ditumbuhi rumput alang alang setinggi dada manusia !.

Setelah itu Bung Karno diangkat. Tubuhnya dipindahkan ke atas karpet
di lantai di ruang tengah. Ibu dan Bapak saya serta beberapa orang disana sungkem kepada jenazah, sebelum akhirnya Guntur Soekarnoputra datang, dan juga orang orang lain.

Namun Pemerintah orde baru juga kebingungan kemana hendak dimakamkan jenasah proklamator. Walau dalam wasiat Bung Karno berkeingan agar kelak dimakamkan di Istana Batu Tulis, Bogor.
Pihak militer tetap tak mau mengambil resiko makam seorang Soekarno yang berdekatan dengan ibu kota.
Maka dipilih Blitar, kota kelahirannya sebagai peristirahatan terakhir.

Tentu saja Presiden Soeharto tidak menghadiri pemakaman ini.

Dalam catatan Kolonel Saelan, bekas wakil komandan Cakrabirawa, ” Bung karno diinterogasi
oleh Tim Pemeriksa Pusat di Wisma Yaso. Pemeriksaan dilakukan dengan cara cara yang amat kasar, dengan memukul mukul meja dan memaksakan jawaban”.
“Akibat perlakuan kasar terhadap Bung Karno, penyakitnya makin parah karena memang tidak mendapatkan pengobatan yang seharusnya diberikan. “
( Dari Revolusi 1945 sampai Kudeta 1966 )

dr. Kartono Mohamad yang pernah mempelajari catatan tiga perawat Bung Karno sejak 7 februari 1969 sampai 9 Juni 1970 serta mewancarai dokter Bung Karno berkesimpulan telah terjadi penelantaran. Obat yang diberikan hanya vitamin B, B12 dan duvadillan untuk mengatasi penyempitan darah.
Padahal penyakitnya gangguan fungsi ginjal.
Obat yang lebih baik dan mesin cuci darah tidak diberikan.

( Kompas 11 Mei 2006 )
Rachmawati Soekarnoputri, menjelaskan lebih lanjut, ” Bung Karno justru dirawat oleh dokter hewan saat di Istana Batutulis. Salah satu perawatnya juga bukan perawat. Tetapi dari Kowad “

( Kompas 13 Januari 2008 )
Sangat berbeda dengan dengan perlakuan terhadap mantan Presiden Soeharto, yang setiap hari tersedia dokter-dokter dan peralatan canggih untuk memperpanjang hidupnya, dan masih didampingi tim pembela yang dengan sangat gigih membela kejahatan yang dituduhkan. Sekalipun Soeharto tidak pernah datang berhadapan dengan pemeriksanya, dan ketika tim kejaksaan harus datang ke rumahnya di Cendana. Mereka harus menyesuaikan dengan jadwal tidur siang sang Presiden !

Malam semakin panas. Tiba tiba saja udara dalam dada semakin
bertambah sesak. Saya membayangkan sebuah bangsa yang
menjadi kerdil dan munafik. Apakah jejak sejarah tak pernah
mengajarkan kejujuran ketika justru manusia merasa bisa
meniupkan roh roh kebenaran ?
Kisah tragis ini tidak banyak diketahui orang. Kesaksian tidak pernah
menjadi hakiki
karena selalu ada tabir tabir di sekelilingnya yang diam membisu.
Selalu saja ada korban dari mereka yang mempertentangkan benar atau salah.
Butuh waktu bagi bangsa ini untuk menjadi arif.


“Kesadaran adalah Matahari, Kesabaran adalah Bumi
Keberanian menjadi cakrawala dan
Perjuangan adalah pelaksanaan kata kata
( * WS Rendra )

Tidak ada komentar:

ngomong bebas

analytics



kunjungi sponsor kebun damai